PKLku sayang PKLku malang… lalu harus bagaimana??

0 comments
Mi ayam janda idaman, mangkal di depan Salman-ITB tiap jumat, dan minggu di Gasibu. Berminat mencoba?? Siap-siap antri sambil berdiri... maklum, si ibu banyak fans.. :p

PKL, suatu fenomena yang tak bisa lepas dari kota besar di negara berkembang. Karakteristik kota negara berkembang dengan jumlah penduduk yang terus bertambah diiringi laju arus urbanisasi tanpa diimbangi peningkatan lapangan pekerjaan yang signifikan, menuntut penduduknya kreatif mencari lahan penghidupan baru demi terus mengepulnya dapur dirumah mereka. Apabila kini ibu-ibu rumah tangga dan gadis-gadis ‘berpunya’ mulai melirik usaha distro, toko kue, maupun online-shop, lain halnya dengan mang Asep dan mbok Ijah yang ‘gaptek’ dan tak punya cukup modal. Jadilah dengan modal awal seadanya berupa gerobak atau cukup dengan menggunakan pikulan, mang Asep dan mbok Ijah bisa berjualan nasi kuning dan bubur ayam di lokasi strategis, didepan salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Tak harus membayar mahal untuk sewa toko, cukup retribusi harian ke ‘pengelola’ setempat. Biaya ringan-untung datang-dapur mengepul. Yaah.. tampak sesuai hukum ekonomi, dengan usaha minimal, hasil maksimal..

Keberadaan PKL tak dipungkiri merupakan masalah tersendiri bagi keteraturan, keindahan, dan kebersihan kota. Kehadiran PKL yang tak pernah diperhitungkan dalam diktat-diktat perencanaan kota dan tak pernah disinggung dalam mata kuliah perancangan terbukti mampu merubah fungsi awal ruang publik kota, merubah kebiasaan, menimbulkan masalah, dan membuat kelimpungan aparat serta para ahli perencanaan kota. Gara-gara PKL pejalan kaki kehilangan trotoarnya, karena PKL alun-alun dan taman kota yang indah jadi terlihat kumuh, belum lagi macetnya jalanan ketika deretan kendaraan parkir menghabiskan badan jalan saat pengendaranya menikmati makanan di sebuah warung tenda. Tak dapat dipungkiri, PKL memang pembawa masalah.

Mengatasi permasalahan tersebut, pejabat berwenang melalui tangan-tangan para satpol PP mulai bekerja atas nama keindahan dan ketertiban kota. Pekerjaan ini dilakukan dengan langkah cepat dan tidak tepat: penertiban PKL . Bahasanya memang ‘penertiban’, namun prosesnya sama sekali tak dapat dikatakan tertib. Kejar-mengejar antara aparat satpol PP dengan PKL yang diikuti saling memaki bahkan kekerasan fisik acapkali mewarnai proses penertiban. Usai itu, jalanan kembali bersih, rapi, tanpa PKL-pengganggu. Masalah selesai?? tentu tidak. Kembalilah keesokan hari, dan temukan para pedagang kaki lima telah kembali berjajar di daerah ‘kekuasaannya’ seolah tak pernah terjadi apapun. Ya, lagi-lagi hukum ekonomi yang berlaku. Dimana ada permintaan disitu ada penawaran. PKL akan selalu ada selama masih ada pasar yang membutuhkan layanannya. Tindakan penertiban dengan kekerasan tak akan mampu melunturkan niat para pedagang tersebut untuk mengais rupiah demi keberlangsungan hidupnya.

Dilematis.. karena disisi lain tak berlebihan jika dikatakan PKL merupakan profesi yang kreatif. Mereka berjuang sendiri menghidupi diri dan keluarganya. Tidak meminta-minta, tidak pula mengandalkan kredit dari pemerintah. Dengan kreativitasnya mereka menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran disaat pemerintah tidak dapat memberikan lapangan kerja secara kontinyu. Tak dapat pula disangkal, keberadaan PKL memberikan layanan kepada masyarakat, selain juga menyediakan ruang interaksi dan sosialisasi bagi masyarakat dari segala kalangan. Kaya-miskin seolah tak ada batas apabila telah sama-sama menikmati sepiring nasi goreng di warung tenda pinggir jalan. Sungguh kontras dengan pemandangan di gerai food-court pusat perbelanjaan ternama yang secara tak langsung memilih orang-orang yang duduk dan menikmati hidangan disana berdasarkan isi dompetnya. Telah jelas pula kehadiran PKL membawa angin segar bagi segelintir masyarakat menengah dan kebawah termasuk pula anak-anak kost seperti saya. Kehadiran PKL memberikan alternatif pilihan makanan enak dengan harga ringan yang tak akan mungkin didapatkan di café-café atau food court dengan harga yang sama. Dapat dimaklumi sebenarnya, kadar higienitas PKL dengan food court di mall memang tak dapat dibandingkan. Namun bagi orang-orang seperti saya yang mengutamakan ‘kenyang’ diatas atribut lain, tampaknya PKL adalah pilihan terbaik. Kembali, selama masih ada orang-orang seperti saya yang membutuhkannya, PKL akan selalu dan selalu ada.

Lalu harus bagaimana?? PKL merupakan potensi, harus diwadahi. Kata-kata tersebut merupakan andalan ‘para pembela kaum marjinal’. Hmm.. pendapat yang benar. Saya setuju!! Tetapi PKL membawa masalah, kota jadi kumuh, tidak enak dipandang. Itu menurut sebagian aparat ‘pembela ketertiban dan keindahan kota’. Wow tepat, saya juga setuju.. Lalu?? Masalah ini tak akan pernah selesai untuk diperdebatkan. Suatu kondisi dilematis yang tak akan dapat terselesaikan dengan baik jika hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Diperlukan strategi, yang tak akan merugikan pihak manapun. Dengan berbagai kompromi, melalui perencanaan dan perancangan dengan pendekatan parsitipatif dan pendampingan sehingga kebutuhan kedua belah pihak dapat diakomodir. Selain itu pemberlakuan ijin resmi bagi praktek PKL juga memungkinkan untuk dilaksanakan. Melalui peraturan ijin resmi, diharapkan pertumbuhan serta kualitas usaha ini dapat dipantau dan dijaga. Dengan demikian PKL mendapatkan tempat berdagang yang legal, aman, tanpa khawatir akan kejaran petugas. Sementara masyarakat mendapatkan kotanya yang indah, bersih, nyaman, dan tak kehilangan PKL sebagai alternatif rekreasi .

Sebuah wacana yang masih sangat abstrak dan tidak mudah dalam pelaksanaannya. Kesulitan tersebut terutama karena fenomena ini terkait permasalahan sosial, dan merubah mindset, terutama soal kebersihan dan ketertiban. Namun kita dapat belajar dari pengalaman sesama negara berkembang yang telah lebih dahulu berhasil merubah masalah PKL menjadi potensi pariwisata. Tak perlu terus diperdebatkan, langkah awal untuk sebuah solusi harus segera dimulai. Kalau bukan sekarang, kapan lagi???

Maafkan tak bermaksud ingkar janji..

1 comments

Membuka blog ini lagi membuat hati saya miris.. Teringat awal pembuatannya, diiringi semangat ’45 saya berjanji dalam hati akan rajin menulis, mewarnai blog ini sembari mengasah kemampuan dalam mengolah kata. Namun apa yang terjadi, sebulan berlalu dan saya belum pernah sekalipun menyapa blog ini kembali. Bukan hanya itu, buku harian di kamarpun seolah turun derajadnya dan hanya sekedar menjadi ‘meja’ alas untuk laptop saya, tanpa pernah dibuka.

Tumpukan tugas yang seolah tak pernah habis sebenarnya bukanlah sebuah alasan sempurna untuk berhenti mengekspresikan diri dalam tulisan. Fenomena sekeliling acapkali menggoda hati untuk menuangkannya, namun apa daya kejaran deadline tugas membuat beberapa ide tulisan yang belum tertuang terpaksa ‘mangkrak’ dalam draft yang entah kapan akan selesai ditulis.

Setidaknya melalui tulisan singkat ini saya hanya ingin mengingatkan diri sendiri akan janji lama, JANGAN HANYA SEKEDAR JADI WACANA.. terus menulis… terus belajar..