Berkaca pada Alanda Kariza—inspirasi saya bulan ini

0 comments

Alanda Kariza, sebelumnya hanya sebuah nama yang tak memiliki arti bagi saya. Namun sejak kemarin, 10 Februari 2011 saya telah terinspirasi oleh sosoknya yang ternyata luar biasa. Saya mendengar nama Alanda secara tak sengaja pada siaran pagi female radio yang saya putar di kamar kos. Cuplikan blog Alanda yang dibacakan penyiar radio pagi itu mengisahkan perasaan dan cinta Alanda pada Ibundanya yang sedang terjerat masalah hukum. Satu hal yang menggugah saya dari pembacaan cuplikan blog tersebut adalah adalah tata bahasa yang digunakan, serta usia penulisnya yang baru 19 tahun. Rangkaian kata itu pada blog itu terasa apik, runtut, selain juga menyentuh. Seakan yang menulis adalah seorang wartawan atau penulis profesional. Sungguh sukar dipercaya jika ternyata penulis blog tersebut masih berusia 19 tahun, mengingat hingga kinipun tata bahasa dalam tulisan saya masih sangat kacau. Yah,, memalukan memang. Namun mau tak mau saya harus mengakuinya.

Tergugah rasa penasaran, siang harinya di kampus saya mencoba membuka blog gadis itu dan semakin takjub atas profilnya. Ternyata diusianya yang masih sangat belia, Alanda telah berhasil mewujudkan semua hal—semua hal yang hingga kini bagi saya baru merupakan mimpi-mimpi yang ada di kepala. Mimpi-mimpi yang ingin saya wujudkan--entah kapan, sebelum saya mati. Diusianya ke 19 Alanda telah menerbitkan dua buah novel, dan novel pertamanya terbit ketika ia masih berusia 14 tahun. Bayangkan.. sedang apa saya dulu ketika seusia itu??? Bukan itu saja, kepedulian Alanda pada lingkungan juga mengantarnya menjadi pemrakarsa gerakan perubahan untuk mengatasi isu global warming di kalangan remaja. Selain itu masih banyak prestasi dan hal-hal membanggakan lain yang dilakukannya. Bukan hanya untuk dirinya, namun juga untuk lingkungan, dan Indonesia--negaranya. Negara saya juga.

Betapa bangga orang tuanya. Itulah yang pertama terlintas dalam benak saya. Lagi-lagi itu juga yang masih menjadi mimpi saya—membanggakan Bapak dan Ibu. Hal lain yang membuat saya takjub adalah betapa Alanda begitu penuh energi dan bagaimana ia dapat melakukan semua itu di usia yang masih sangat belia.

Allah mengaruniakan Alanda waktu 24 jam sehari, sama seperti yang diberikan-Nya untuk saya. Namun apa yang saya dapat dan lakukan disaat seusia dia enam tahun silam? Bahkan saat ini diusia menginjak 26 tahun, saya rasa saya bahkan belum mampu melampaui separuh saja dari apa yang telah berhasil diraih Alanda. Mengapa ia bisa, sedangkan saya tidak?? Apakah Alanda seorang kutu buku yang tak pernah bermain dan bergaul dengan teman-teman sebayanya? Seorang gadis yang hidupnya hanya untuk membaca dan menulis sehingga diusianya kini tata bahasanya sudah maju sedemikian pesat? Saya rasa bukan begitu. Terbukti, dia bahkan masih bisa berprestasi di bidang lain dan berperan dalam organisasi perubahan untuk lingkungan. Lalu bagaimana caranya?? Hmmm,, yang saya tahu pasti hanya satu hal. Bahwa saya telah menyia-nyiakan pedang Allah yang bernama waktu.. Oh,, betapa meruginya saya..

Mungkin ketika saya tidur dan bermalas-malas, Alanda menulis dan membaca. Sementara di saat saya membuang waktu dengan menonton sinetron atau infotainment, Alanda menghabiskannya dengan berkarya dibidang lain. Oh, itu tentu jawabannya. Saya terlalu banyak melewatkan waktu dengan memperturutkan kehendak nafsu kemalasan pribadi dan menunda-nunda target yang sebelumnya telah saya tetapkan sendiri.

Waktu adalah karunia Allah yang berharga, yang tak mungkin kembali lagi. Namun dengan sombongnya saya membuang karunia itu begitu saja. Akibatnya ketika orang lain telah melesat begitu jauh, saya masih tetap disini. Berdiri ditempat yang sama sambil merencanakan mimpi-mimpi yang entah kapan dapat terealisasi. Ya Allah,, saya tak mau terus begini. Ampuni saya yang telah begitu merugi..

Kembali pada Alanda, ditulisan terakhirnya yang saya baca, Alanda menuliskan kegundahannya karena masalah hukum yang menjerat Ibunya. Sebagai salah seorang tersangka dalam kasus Bank Century, Ibu Alanda dijerat hukuman 10 tahun penjara dan denda 10 milyar rupiah. Saya bisa membayangkan dan mengerti kesedihannya. Ketika seorang ibu, yang ia begitu cintai dan yakini tak bersalah harus menerima ketidak adilan dan hukuman sedemikian beratnya. Jujur, saya memang tidak mengerti apa-apa tentang kasus Century. Namun, saya yakin sosok Ibu yang melahirkan, yang mampu membesarkan serta mendidik seorang anak yang cerdas, menakjubkan dan membanggakan seperti Alanda adalah sosok yang mulia. Sosok yang tak mungkin melakukan sebuah penghianatan pada bangsa, penggelapan uang negara. Karena bukankah perilaku seorang anak adalah cerminan didikan orang tuanya??

Saya memang tak mengenal Alanda dan Ibunya, namun saya turut berdoa untuk kebahagiaan mereka. Juga agar Ibu Alanda mendapatkan keadilan dalam hukum, keadilan yang seharusnya diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali..

Ketika kendaraan bermotor lebih dihargai daripada pejalan kaki…

0 comments

Hampir dua tahun tinggal di kota Bandung membuat saya semakin menyadari satu hal, kota ini jauh lebih menghargai mobil pribadi dan kendaraan bermotor lain ketimbang pejalan kaki. Pendapat tersebut memang tanpa dasar teori yang dapat dipertanggungjawabkan, namun pengalaman pribadi sebagai pejalan kaki yang selalu termarjinalkan oleh keberadaan kendaraan bermotor membuat saya berani menyatakannya.

Basis perangcangan infrastruktur jalan di kota Bandung yang berorientasi kepada penggunaan kendaraan bermotor mau tak mau berimbas pada gaya hidup masyarakatnya yang semakin tergantung pada kendaraan bermotor untuk menempuh jarak-jarak jauh maupun dekat di kota. Akibat langsung dari gaya hidup ini tentu saja, peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi yang memenuhi ruas-ruas jalan di kota Bandung, kemacetan, dan kesulitan mencari lahan parkir terutama pada daerah-daerah yang merupakan pusat aktivitas masyarakat, serta tak ketinggalan peningkatan emisi karbon penyumbang global warming.

Pemandangan pagi hari berupa jajaran mobil aneka warna dan merk yang diparkir disepanjang ruas jalan Ganesha, dimana terdapat salah satu kampus ternama di kota Bandung, bukanlah suatu hal yang asing lagi. Beranjak siang, deretan mobil yang parkir telah semakin meluas, ‘menjajah’ ruas-ruas jalan lain disekitarnya. Luas lahan ITB yang kecil, tak memungkinkan kampus ini menyediakan lahan parkir yang memadai untuk memfasilitasi ’gaya hidup’ mahasiswanya. Akibatnya seperti digambarkan pada situasi diatas, kebutuhan lahan untuk parkir dilampiaskan ke jalan sekitarnya, memakai badan jalan, mengganggu kelancaran arus transportasi pada jalan yang bersangkutan, serta semakin tak memberikan ruang yang nyaman bagi pejalan kaki. Dari kenyataan sehari-hari tersebut, sepertinya tak berlebihan bila dikatakan bahwa gaya hidup mahasiswa ITB adalah sebagian dari penyumbang kemacetan kota Bandung serta emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global. Cukup menyedihkan, mengingat kapasitas ITB sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terbesar dan terbaik di Indonesia. Kampus ini setiap tahunnya menelorkan lulusan-lulusan terbaiknya dibidang sains dan teknologi, yang sayangnya ternyata tak selalu dibarengi dengan kesadaran mereka akan lingkungan.

Fakta lain tentang ‘tak dianggapnya’ pejalan kaki dikota ini terlihat dari desain pedestriannya yang dapat dikatakan tak layak. Pada sebagian besar ruas jalan misalnya Jalan Cihampelas ,keberadaan pedestrian telah terdesak oleh fungsi-fungsi bangunan komersial. Pada ruas jalan yang selalu ramai ini, aturan sempadanpun tampaknya sudah tak lagi diperdulikan. Akhirnya yang terjadi adalah bangunan yang langsung berhadapan dengan badan jalan yang ramai sehingga sama sekali tak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Kalaupunlah ada sedikit ruang, pasti sudah dimanfaatkan sebagai lahan parkir maupun tempat mangkal pedagang kaki lima.

Beberapa ruas jalan di Bandung seperti Jl Tamansari memang menyediakan pedestrian, namun seperti dikatakan sebelumnya kondisinya sangat menyedihkan. Berlubang disana-sini serta dihalangi oleh akar pohon peneduh-yang seyogyanya mendapatkan tempat tumbuhnya tersendiri. Beranjak sore, fasilitas pedestrian yang seadanya inipun seolah harus diperebutkan dari pedagang kaki lima yang telah mengklaim ruang publik ini sebagai area pribadinya untuk berjualan. Dan tentunya, lagi-lagi pejalan kaki yang menjadi korban.

Cerita-cerita diatas hanya sekelumit dari yang saya alami sebagai pejalan kaki yang termarjinalkan di kota ini. Sungguh sayang kondisi tersebut, mengingat cara terbaik untuk menikmati sebuah kota adalah dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, setiap sudut kota ,tiap sekuen dari ruas jalan—karya arsitek dan perancang kota akan dapat dinikmati dengan lebih baik. Pejalan kakilah yang menikmati kota, bukan pengendara mobil yang melaju terlalu cepat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin semakin banyak orang akan enggan berjalan kaki. Dampaknya, selain lagi-lagi emisi dan kemacetan, tentu tak akan ada lagi yang menikmati kota. Lalu jika tanpa penikmat, untuk apa arsitek dan perancang kota mendesain visualisasi kota? Sekedar uang, kepuasan dan ego pribadikah?? Sungguh sayang..

BAHAGIA

0 comments
Saya pernah dengar quote yang berbunyi: Kebahagiaan itu tergantung dari bagaimana kita mensyukuri hidup dan apa yang kita punya. Tentukan caramu sendiri untuk bahagia, dan jangan terpengaruh standar yang ditetapkan orang lain. Saya pikir pendapat itu benar. Kadangkala orang mengasosiasikan kebahagiaan dengan besarnya gaji, kesuksesan karir, pernikahan, jumlah anak, de el el.. Seandainya kita tidak punya salah satu atau bahkan semua dari standar tersebut, pantaskah kita jadi tidak bahagia?? jangaaannnn,,, jangaaaannn,,, rugi amaattt... Yupz, biarpun kita hidup ditengah orang banyak dimana pendapat orang susah juga buat ga didengar, tapi hidup kita tetap milik kita. Asalkan ga dosa, sah-sah saja kan kalau cara kita beda,,, Hidup cuman sesaat, hiduplah dengan melakukan hal-hal bermanfaat yang kita suka, dan bahagialah.. SEMANGAAATTT!!!

AYOOO MENULIS UNTUK BERBAGI,,

0 comments
Bandung, 26 Januari 2011

Menjadi penulis.. Salah satu impian saya, sejak lama.

Impian tersebut dipicu oleh kegemaran saya membaca sejak masa kanak-kanak. Segala jenis bacaan mulai cerpen, cerita bergambar, komik, sampai novel-novel tebal telah saya habiskan tanpa banyak mengeluh—ehm, ada satu perkecualian sebenarnya,, buku pelajaran :p. Dimasa kecil, Bapak-Ibu saya sering membacakan cerita bergambar sebagai pengantar tidur, kecuali itu mereka juga membelikan saya dan adik-adik banyak sekali buku cerita anak. Ketika mulai bisa membaca, rasa penasaran mendorong saya untuk mengetahui isi buku-buku bacaan tersebut dengan membacanya sendiri karena tentu saja orang tua saya tak selalu punya waktu untuk membacakan. Kebiasaan tersebut berlanjut hingga kini, di waktu luang, saya lebih suka membaca daripada berjalan-jalan ke mall atau tempat-tempat sejenis.

Impian saya menjadi penulis,, bukan hanya membaca karya-karya orang, namun suatu saat saya juga ingin karya saya juga dibaca dan digemari banyak orang.

Okei, jadi penulis. Artinya harus punya karya tulisan dong,, bukan hanya buku harian tentunya. Nah pertanyaannya: mau menulis apa?? Mau bikin puisi rasanya kok susah,, rangkaian kata yang meluncur dari otak ini sepertinya selalu jauuuhh dari kesan puitis. Dengan pasrah saya akui kalau diri ini memang tidak dilahirkan dan ditakdirkan sebagai pujangga. Bakat menulis puisi saya NOL BESAR.. Salah satu bukti nyatanya adalah saya sampai harus ‘nyogok’ adik sebagai upah membuat puisi untuk dikumpulkan sebagai tugas Bahasa Indonesia kelas 5 SD jaman bahuela dulu.. huahh.. bikin malu,,

Ehm,, kalau begitu mungkin novel?? nah,, terus ceritanya apaa?? Cukup banyak penulis ngetop yang saya tahu mendapatkan inspirasi dari kisah hidup mereka yang tragis, rumit, berliku macam sinetron di TV. Tapi menovelkan kisah hidup saya?? Wah,, rasanya kisah hidup saya yang sedatar dada-- bapak saya,, hehee,, sama sekali tidak menarik untuk dijadikan novel. Nanti jangan-jangan malah ngga ada yang mau baca saking tidak ada konfliknya.. :p Oh well,, kalau boleh jujur sebenarnya nggak selamanya kisah saya sedatar itu sih.. ada beberapa part dari hidup saya terutama kisah percintaan--yang ngga semulus jalan tol itu, yang sepertinya cukup ok kalau dijadikan novel. Nah,, tapi kalau boleh jujur lagi,, sebenarnya cerita itu sudah saya coba untuk jadikan novel, cuman.. yaa.. macet hanya sampai halaman 3,, hahahaha.. Nggak tahu ya,, rasanya setelah dibaca kok terasa nggak OK aja,, akhirnya.. yah.. saya mutung ngelanjutin sampai akhirnya cerita itu mangkrak.. hehehe.. :)

Okeiii,,, sepertinya debut untuk novel masih terlalu jauh untuk saya,, Tapi sebenarnya sebagai seseorang dengan latar belakang pendidikan arsitektur,, *agak malu nyebutnya,, karena tampaknya saya sudah ‘murtad’ dari profesi ini. Saat ini saya lebih ingin beralih profesi jadi penulis daripada penggambar :D* Saya pernah berencana untuk membuat buku kumpulan desain renovasi interior berbagai gaya pada rumah tinggal-berikut rencana anggaran biayanya. Kolaborasi bersama teman tentunya.. Ide ini menggebu ketika baru lulus kuliah S1, tapi begitu dapat kerja... wuzzzzz... menguaplah ide itu,, cuma jadi wacana, ngga ada wujudnya sama sekali sampai sekarang..

Lalu,, lalu,, lalu,,,

Sampai saat ini saya masih ingin menulis. Menulis untuk berbagi, membagikan apa yang kita punya, membuat orang bahagia karena tulisan kita,, menyenangkan.. Saya ingin hidup seperti itu.

Saya melihat beberapa orang menulis sesuatu yang tampak sepele, namun karena dikemas dengan gaya bahasa yang khas akhirnya ide awal yang ‘biasa’ itu bisa jadi menarik, menghibur, akhirnya disukai.. Kambing Jantannya Raditya Dika misalnya,, atau tulisan beberapa teman di notes facebook atau juga sekedar opini yang dimuat majalah. Kadang pikiran saya yang lagi iri bilang,, haa?? Kalau si ini bisa masaa saya ngga bisaaa,, aahhh.. gini mah keciiilll.. *sombooongg,, tapi mana buktinyaaaaa hahahahahahaha,,,*

Hari ini saya membaca satu blog milik seorang kakak kelas saya waktu S1, mbak Liza. Awalnya mbak Liza membuat blog itu untuk mendokumentasikan bekal-bekal makanan yang ia buatkan untuk suaminya tercinta, berikut resepnya tentu saja. Namun saat ini, saya lihat blog tersebut telah mengalami progres luar biasa. Semakin banyak teman-teman yang terinspirasi dan membuat bekal makanan serupa,, dengan modifikasi disana sini tentunya. Kemudian mereka mengirimkan foto hasil masakan jadi atau memposting di facebook. Selanjutnya mbak Liza dengan senang hati mengapresiasinya dengan menampilkan di blog-nya.

Woww.. menakjubkan kan??,, sumpah saya sampai terharu..

Diawali dari ide sederhana, namun dituliskan dengan hati dan semangat berbagi, tulisan-tulisan di blog mbak Liza kini menginspirasi dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Hidup untuk berkarya dan berbagi.. itu yang selalu saya mau, selain juga hidup dan mencari penghidupan dengan mengerjakan hal-hal yang saya sukai..

Saya tahu sekarang,, saya tahu,, yang saya butuhkan cuma semangat dan niat untuk memulainya.. Apapun bisa jadi bahan tulisan,, Apapun itu, bisa jadi bagus asal ditulis dengan hati. Ngga usah kuatir,, nggak usah malu. Kemampuan olah kata akan semakin membaik dengan latihan. Bahkan Purwacaraka yang jago maen pianopun nggak langsung bisa main piano waktu baru dilahirkan. Tanpa latihan, nggak akan pernah Purwacaraka jadi sehebat sekarang,,

Okei.. okei.. semangat dan konsistensi,, cuma itu yang saya butuh sebagai modal awal,, itung-itung latihan..

Ayoooo mulai menulis dari sekarang,, mulai berbagi.. kapan lagii???

UNTUK BAPAKKU SAYANG: i love you soooo muuuuuccchhh...

0 comments

Bandung, 25 Januari 2011

Bapakku sayang

Pak..

Nggak tau kenapa, tapi tiap inget apapun tentang Bapak, atau ngomongin Bapak, aku mesti pingin nangis..

Pak,

Aku nggak bisa bikin puisi yang bagus buat Bapak, tapi aku pengen nulis sesuatu untuk Bapak,, sesuatu yang aku rasakan, tapi belum pernah aku bilang sama Bapak..

Ya Allah,,

Bapakku yang selalu penuh cinta sudah semakin tua sekarang..

Rambutnya sudah putih semua dan banyak yang rontok..

Perutnya gede dan kalo tidur ngorok..

Tapi walaupun gitu, Bapakku masi terus kerja keras,, sering pulang malem, bahkan sampe sabtu-minggu juga..

Pak..

Aku sedih tiap inget Bapak,,

Sedih karena sampe umur segini, aku belum juga bisa bahagiakan Bapak

Sedih karena sampe umur segini aku masih selalu ngerepoti Bapak, masih minta uang Bapak, dan parahnya masi suka males-malesan kalo disuruh, walopun habis itu aku nyesel setengah mati..

Pak,

Aku masih kepikiran malem ujan itu, waktu aku gamau beli garam buat Bapak nyambel..

Maaf pak..

Padahal apa sih yang nggak dari Bapak kalo buat aku..

Bapak yang selalu nanya, “pakan kucinge sek ono ta??” dan sepulang kerja sudah ada makanan kucing sekeresek plus vitamin bulu di mobil, walopun ibuk marah-marah karena mahal.

Bapak yang peduli kalo Uis sakit dan mau nganter ke dokter berkali-kali

Bapak yang tiap aku mau balik ke Bandung selalu heboh beliin keripik tempe dan oleh-oleh, juga ijin penataran cuma karena pingin nganter aku sampe stasiun..

Tapi aku,, beli garam aja ga mau..

Ya Allah.. maaf Pak, aku menyesal..

Aku menyesal Pak, menyadari kalau aku menyia-nyiakan satu kesempatan untuk berbakti sama Bapak..

Ya Allah semoga kesempatan itu masih akan ada lagi.. lagi.. dan lagi,, dan aku janji akan memperbaikinya..

Bapakku tercinta,,

Bapak paling baik dan demokratis yang aku punya..

Suami paling sabar, pengertian, dan sayang keluarga, bikin aku pingin nanti punya suami yang baiknya kaya Bapak.. *amiin, kabulkanlah Ya Allah..*

Bapakku, pakde yang paling perhatian dan sayang sama ponakannya,, menantu dan anak yang baik, dan saudara yang selalu ada untuk membantu kesulitan saudaranya..

Aku, tahu pak,, Bapak selalu pingin bahagiakan semua orang disekitar Bapak, walopun pada akhirnya Bapak yang jadi banyak mikir, dan terkadang orang-orang ngga menghargai usaha Bapak..

Bapakku tersayang,,

Aku bangga jadi anak Bapak, dan pingin suatu saat Bapak juga bisa bilang kalau Bapak bangga punya anak aku..

Ya Allah terimakasih Kau berikan aku anugerah untuk menjadi anak seorang Suharmanto Ruslan, dan belajar berbagai hal tentang hidup darinya..

Bapakku sayang, terima kasih ya,,

Terimakasih karena selalu ada untuk kami; Aku, Ibu, Heppy, dan Ican,,

Sehat terus ya Pak,,

Jangan makan yang banyak kolesterol,

Olahraga,,

Minum air putih yang banyak..

Jangan suka mikir berlebihan,, masalah Budhe, masalah apa aja..

Aku, Ibuk, Heppy, Ican semua sayang Bapak, kami sedih kalo Bapak susah..

Kalo susah, nanti terus Bapak sakit, aku nggak mau..

Aku masih pingin sama-sama Bapak lama.. lamaaa.. sampai kapanpun..

Ya Allah..

Jagalah selalu Bapak dan Ibukku..

Sayangilah mereka..

Berikan mereka kesehatan dan umur panjang yang barokah..

Bukakan pintu-pintu rezeki yang halal bagi mereka..

Berikanlah kebahagiaan, dan kemudahan bagi setiap langkah mereka..

Amiin ya Robbal alamiinn..

Bapak aku janji,, insya Allah akan bahagiakan Bapak..

PEDAGANG KAKI LIMA, POTENSI YANG TERPINGGIRKAN: Optimalisasi potensi kota melalui pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima secara kolaboratif

1 comments

Astri Anindya Sari

Mahasiswa Magister Arsitektur, SAPPK - Institut Teknologi Bandung

e-mail: thatitoetz@yahoo.com

ABSTRAK

Permasalahan khas yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang adalah tingginya arus urbanisasi dan pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi dengan peningkatan lapangan kerja yang signifikan. Sebagai akibatnya masyarakat urban informal harus berupaya pibadi secara kreatif mencari sumber penghidupan bagi diri dan keluarganya. Salah satu upaya tersebut terlihat dari menjamurnya pedagang kaki lima dengan berbagai barang daganganya pada lokasi-lokasi strategis di ruang publik kota seperti trotoar, ruas jalan, maupun ruang terbuka kota.

Aktivitas pedagang kaki lima di ruang publik kota secara tidak langsung mengkonstruksi ruang sosio temporal yang mampu memberikan warna tersendiri bagi aktivitas di kota. Aktivitas mereka menyediakan ruang sosial bagi masyarakat yang tak tersegmentasi, sehingga kehadirannya selalu dibutuhkan. Disisi lain, keberadaan pedagang kaki lima dengan kesemrawutan tampilannya dinilai membawa masalah dan merusak citra keindahan serta kebersihan kota. Akibat negatif inilah yang menyebabkan pemangku kebijakan tertentu cenderung menganggap keberadaan pedagang kaki lima sebagai masalah yang harus disingkirkan daripada memandangnya sebagai potensi yang dapat dikembangkan.

Melalui studi komparasi terhadap pengelolaan pedagang kaki lima pada ruang publik di berbagai kota, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dengan pengelolaan aktivitas dalam ruang terbuka secara kreatif dan terpadu melalui kolaborasi pihak-pihak yang terlibat didalamnya, permasalahan yang timbul akibat aktivitas pedagang kaki lima pada ruang publik kota dapat diminimalisir. Pengelolaan secara kolaboratif tersebut mampu memaksimalkan potensi yang ada sehingga aktivitas yang terjadi akan mampu memberikan berbagai manfaat baik terhadap kota yang bersangkutan, masyarakat, maupun pemerintah kota.

Kata kunci: pedagang kaki lima, ruang publik kota, pemangku kebijakan, pengelolaan kolaboratif

Kalau yang ini dipresentasikan pada seminar Morfologi Arsitektur- Undip Semarang (November 2010)