Berkaca pada Alanda Kariza—inspirasi saya bulan ini

0 comments

Alanda Kariza, sebelumnya hanya sebuah nama yang tak memiliki arti bagi saya. Namun sejak kemarin, 10 Februari 2011 saya telah terinspirasi oleh sosoknya yang ternyata luar biasa. Saya mendengar nama Alanda secara tak sengaja pada siaran pagi female radio yang saya putar di kamar kos. Cuplikan blog Alanda yang dibacakan penyiar radio pagi itu mengisahkan perasaan dan cinta Alanda pada Ibundanya yang sedang terjerat masalah hukum. Satu hal yang menggugah saya dari pembacaan cuplikan blog tersebut adalah adalah tata bahasa yang digunakan, serta usia penulisnya yang baru 19 tahun. Rangkaian kata itu pada blog itu terasa apik, runtut, selain juga menyentuh. Seakan yang menulis adalah seorang wartawan atau penulis profesional. Sungguh sukar dipercaya jika ternyata penulis blog tersebut masih berusia 19 tahun, mengingat hingga kinipun tata bahasa dalam tulisan saya masih sangat kacau. Yah,, memalukan memang. Namun mau tak mau saya harus mengakuinya.

Tergugah rasa penasaran, siang harinya di kampus saya mencoba membuka blog gadis itu dan semakin takjub atas profilnya. Ternyata diusianya yang masih sangat belia, Alanda telah berhasil mewujudkan semua hal—semua hal yang hingga kini bagi saya baru merupakan mimpi-mimpi yang ada di kepala. Mimpi-mimpi yang ingin saya wujudkan--entah kapan, sebelum saya mati. Diusianya ke 19 Alanda telah menerbitkan dua buah novel, dan novel pertamanya terbit ketika ia masih berusia 14 tahun. Bayangkan.. sedang apa saya dulu ketika seusia itu??? Bukan itu saja, kepedulian Alanda pada lingkungan juga mengantarnya menjadi pemrakarsa gerakan perubahan untuk mengatasi isu global warming di kalangan remaja. Selain itu masih banyak prestasi dan hal-hal membanggakan lain yang dilakukannya. Bukan hanya untuk dirinya, namun juga untuk lingkungan, dan Indonesia--negaranya. Negara saya juga.

Betapa bangga orang tuanya. Itulah yang pertama terlintas dalam benak saya. Lagi-lagi itu juga yang masih menjadi mimpi saya—membanggakan Bapak dan Ibu. Hal lain yang membuat saya takjub adalah betapa Alanda begitu penuh energi dan bagaimana ia dapat melakukan semua itu di usia yang masih sangat belia.

Allah mengaruniakan Alanda waktu 24 jam sehari, sama seperti yang diberikan-Nya untuk saya. Namun apa yang saya dapat dan lakukan disaat seusia dia enam tahun silam? Bahkan saat ini diusia menginjak 26 tahun, saya rasa saya bahkan belum mampu melampaui separuh saja dari apa yang telah berhasil diraih Alanda. Mengapa ia bisa, sedangkan saya tidak?? Apakah Alanda seorang kutu buku yang tak pernah bermain dan bergaul dengan teman-teman sebayanya? Seorang gadis yang hidupnya hanya untuk membaca dan menulis sehingga diusianya kini tata bahasanya sudah maju sedemikian pesat? Saya rasa bukan begitu. Terbukti, dia bahkan masih bisa berprestasi di bidang lain dan berperan dalam organisasi perubahan untuk lingkungan. Lalu bagaimana caranya?? Hmmm,, yang saya tahu pasti hanya satu hal. Bahwa saya telah menyia-nyiakan pedang Allah yang bernama waktu.. Oh,, betapa meruginya saya..

Mungkin ketika saya tidur dan bermalas-malas, Alanda menulis dan membaca. Sementara di saat saya membuang waktu dengan menonton sinetron atau infotainment, Alanda menghabiskannya dengan berkarya dibidang lain. Oh, itu tentu jawabannya. Saya terlalu banyak melewatkan waktu dengan memperturutkan kehendak nafsu kemalasan pribadi dan menunda-nunda target yang sebelumnya telah saya tetapkan sendiri.

Waktu adalah karunia Allah yang berharga, yang tak mungkin kembali lagi. Namun dengan sombongnya saya membuang karunia itu begitu saja. Akibatnya ketika orang lain telah melesat begitu jauh, saya masih tetap disini. Berdiri ditempat yang sama sambil merencanakan mimpi-mimpi yang entah kapan dapat terealisasi. Ya Allah,, saya tak mau terus begini. Ampuni saya yang telah begitu merugi..

Kembali pada Alanda, ditulisan terakhirnya yang saya baca, Alanda menuliskan kegundahannya karena masalah hukum yang menjerat Ibunya. Sebagai salah seorang tersangka dalam kasus Bank Century, Ibu Alanda dijerat hukuman 10 tahun penjara dan denda 10 milyar rupiah. Saya bisa membayangkan dan mengerti kesedihannya. Ketika seorang ibu, yang ia begitu cintai dan yakini tak bersalah harus menerima ketidak adilan dan hukuman sedemikian beratnya. Jujur, saya memang tidak mengerti apa-apa tentang kasus Century. Namun, saya yakin sosok Ibu yang melahirkan, yang mampu membesarkan serta mendidik seorang anak yang cerdas, menakjubkan dan membanggakan seperti Alanda adalah sosok yang mulia. Sosok yang tak mungkin melakukan sebuah penghianatan pada bangsa, penggelapan uang negara. Karena bukankah perilaku seorang anak adalah cerminan didikan orang tuanya??

Saya memang tak mengenal Alanda dan Ibunya, namun saya turut berdoa untuk kebahagiaan mereka. Juga agar Ibu Alanda mendapatkan keadilan dalam hukum, keadilan yang seharusnya diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali..

Ketika kendaraan bermotor lebih dihargai daripada pejalan kaki…

0 comments

Hampir dua tahun tinggal di kota Bandung membuat saya semakin menyadari satu hal, kota ini jauh lebih menghargai mobil pribadi dan kendaraan bermotor lain ketimbang pejalan kaki. Pendapat tersebut memang tanpa dasar teori yang dapat dipertanggungjawabkan, namun pengalaman pribadi sebagai pejalan kaki yang selalu termarjinalkan oleh keberadaan kendaraan bermotor membuat saya berani menyatakannya.

Basis perangcangan infrastruktur jalan di kota Bandung yang berorientasi kepada penggunaan kendaraan bermotor mau tak mau berimbas pada gaya hidup masyarakatnya yang semakin tergantung pada kendaraan bermotor untuk menempuh jarak-jarak jauh maupun dekat di kota. Akibat langsung dari gaya hidup ini tentu saja, peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi yang memenuhi ruas-ruas jalan di kota Bandung, kemacetan, dan kesulitan mencari lahan parkir terutama pada daerah-daerah yang merupakan pusat aktivitas masyarakat, serta tak ketinggalan peningkatan emisi karbon penyumbang global warming.

Pemandangan pagi hari berupa jajaran mobil aneka warna dan merk yang diparkir disepanjang ruas jalan Ganesha, dimana terdapat salah satu kampus ternama di kota Bandung, bukanlah suatu hal yang asing lagi. Beranjak siang, deretan mobil yang parkir telah semakin meluas, ‘menjajah’ ruas-ruas jalan lain disekitarnya. Luas lahan ITB yang kecil, tak memungkinkan kampus ini menyediakan lahan parkir yang memadai untuk memfasilitasi ’gaya hidup’ mahasiswanya. Akibatnya seperti digambarkan pada situasi diatas, kebutuhan lahan untuk parkir dilampiaskan ke jalan sekitarnya, memakai badan jalan, mengganggu kelancaran arus transportasi pada jalan yang bersangkutan, serta semakin tak memberikan ruang yang nyaman bagi pejalan kaki. Dari kenyataan sehari-hari tersebut, sepertinya tak berlebihan bila dikatakan bahwa gaya hidup mahasiswa ITB adalah sebagian dari penyumbang kemacetan kota Bandung serta emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global. Cukup menyedihkan, mengingat kapasitas ITB sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terbesar dan terbaik di Indonesia. Kampus ini setiap tahunnya menelorkan lulusan-lulusan terbaiknya dibidang sains dan teknologi, yang sayangnya ternyata tak selalu dibarengi dengan kesadaran mereka akan lingkungan.

Fakta lain tentang ‘tak dianggapnya’ pejalan kaki dikota ini terlihat dari desain pedestriannya yang dapat dikatakan tak layak. Pada sebagian besar ruas jalan misalnya Jalan Cihampelas ,keberadaan pedestrian telah terdesak oleh fungsi-fungsi bangunan komersial. Pada ruas jalan yang selalu ramai ini, aturan sempadanpun tampaknya sudah tak lagi diperdulikan. Akhirnya yang terjadi adalah bangunan yang langsung berhadapan dengan badan jalan yang ramai sehingga sama sekali tak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Kalaupunlah ada sedikit ruang, pasti sudah dimanfaatkan sebagai lahan parkir maupun tempat mangkal pedagang kaki lima.

Beberapa ruas jalan di Bandung seperti Jl Tamansari memang menyediakan pedestrian, namun seperti dikatakan sebelumnya kondisinya sangat menyedihkan. Berlubang disana-sini serta dihalangi oleh akar pohon peneduh-yang seyogyanya mendapatkan tempat tumbuhnya tersendiri. Beranjak sore, fasilitas pedestrian yang seadanya inipun seolah harus diperebutkan dari pedagang kaki lima yang telah mengklaim ruang publik ini sebagai area pribadinya untuk berjualan. Dan tentunya, lagi-lagi pejalan kaki yang menjadi korban.

Cerita-cerita diatas hanya sekelumit dari yang saya alami sebagai pejalan kaki yang termarjinalkan di kota ini. Sungguh sayang kondisi tersebut, mengingat cara terbaik untuk menikmati sebuah kota adalah dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, setiap sudut kota ,tiap sekuen dari ruas jalan—karya arsitek dan perancang kota akan dapat dinikmati dengan lebih baik. Pejalan kakilah yang menikmati kota, bukan pengendara mobil yang melaju terlalu cepat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin semakin banyak orang akan enggan berjalan kaki. Dampaknya, selain lagi-lagi emisi dan kemacetan, tentu tak akan ada lagi yang menikmati kota. Lalu jika tanpa penikmat, untuk apa arsitek dan perancang kota mendesain visualisasi kota? Sekedar uang, kepuasan dan ego pribadikah?? Sungguh sayang..