Menikah

0 comments

Ketika teman-teman sebaya bahkan adik kelas satu persatu mengirimkan undangan pernikahan, haruskah saya juga ikut-ikutan menikah??

Ketika satu-persatu foto profil teman-teman di fesbuk mulai berganti dengan foto anak mereka, atau ketika bahasan di status teman-teman sudah beralih ke topik tentang ‘suami dan anak’, haruskah saya segera menikah??

Ketika orang-orang diluar sana mulai bertanya, “Kapan nikah?” “Nunggu apa lagi?” “Keburu tua loh”.. Haruskah saya langsung berpikir untuk buru-buru menikah??

Ketika teringat bahwa ini Indonesia—saya ini wanita, dan saat umur sudah semakin beranjak menjelang angka tigapuluh—haruskah saya cepat-cepat menikah??

Ahh..

Sebenarnya siapa sih yang ga mau nikah??

Saya juga mau kok.

Sungguh.

Tapi siapa sih yang nantinya menjalani hidup setelah saya nikah?? Saya kan, bukan mereka.

Bukan teman-teman, adik kelas, atau orang-orang yang selalu bertanya “Kapan nikah??”

Bukan mereka

Saya yang jalani

Lalu mengapa saya harus terpengaruh?? Itu kan urusan saya. Saya yang punya rencana. Saya yang memegang kendali atas hidup saya—Atas ijin Allah tentunya. Untuk apa nikah kalau hanya karena ikut-ikutan, hanya karena kejar target?

Rugi.

Terserah saya, kapan mau nikah

Terserah saya, kenapa orang lain yang jadi ribut?

Terserah saya, kapan mau nikah

Tapi..

Ketika ada seseorang yang sudah menunggu saya cukup lama, menunggu saya menuntaskan ego untuk menggapai mimpi. Masih tegakah saya untuk lagi-lagi menunda menikah??

Tapi…

Saya masih punya mimpi lain. Mimpi yang masih ingin-ingin-ingin saya wujudkan.

Lalu kenapa memangnya kalau menikah?? Apakah mimpi itu benar-benar tidak bisa terwujud jika saya menikah??

Ahh.. Entahlah…

Sebenarnya saya galau. Itu saja.

Saya malu mengakui. Tapi saya memang sedikit-banyak terpengaruh. Terpengaruh omongan orang, terpengaruh status-status teman-teman di fesbuk dan foto-foto profil mereka—anak-anak yang lucu. Saya terpengaruh undangan-undangan nikah yang silih berganti datang. Saya terpengaruh umur saya yang semakin beranjak.

Saya terpengaruh.

Lebih tepatnya saya terganggu.

Ya, saya terganggu

Dan itu membuat saya galau

Astaghfirullah hal adzim…

Ampuni saya ya Allah…

Sungguh saya ingin menggenapkan dien-Mu

Berikan saya kemudahan dan kemantapan hati Ya Allah..

Berikan dan tunjukkan pada saya jalan yang terbaik..

Amiiiinnn..

Gambar diambil dari sini

Saya disini sekarang

0 comments

Ya.. saya disini sekarang

Tinggal di sini

Di Surabaya

Kota yang selalu bikin banjir keringat walau baru mandi

Kota yang buat saya jadi ketergantungan pada ac dan kipas angin

Kota yang dulu saya hindari untuk cari kerja dan kuliah saking panasnya

Ya, di sini saya sekarang

Di Surabaya

Surabaya yang setiap hari, pagi—siang—sore senantiasa panas

Saya disini sekarang

Ternyata Allah membawa saya kesini

Alhamdulillah

Sekarang panasnya Surabaya jadi keseharian saya

Bau menyengat kali kepiting jadi rutinitas saya

Putaran kipas angin di angka tertinggi yang selalu menyambut saya

Alhamdulillah

Saya disini sekarang

Di Surabaya yang panas

Saya yakin disini saya akan dapatkan lagi keluarga dan sahabat

Saya yakin disini saya akan dapatkan pengalaman dan wawasan

Saya yakin disini saya akan dapatkan berkah dari pengamalan ilmu saya

Terimakasih ya Allah

Telah menuntun saya kesini

Ke Surabaya

Gambar diambil dari sini

surga (memang sePANTASnya) dibawah telapak kaki ibu

0 comments

Saya tahu, saya kini tahu kenapa surga dibawah telapak kaki Ibu. Bukan Ayah. Walaupun keduanya tak dipungkiri sama-sama berjasa besar dalam hidup kita—seorang anak.

Surga dibawah telapak kaki ibu. Bukan hanya karena Ibulah yang mengandung kita selama 9 bulan, melahirkan kita kedunia dengan taruhan nyawanya, dengan ikhlas menyusui dan membesarkan kita dengan kasih sayang. Mengandung, melahirkan, menyusui. Ikhlas. Tanpa peduli kesakitan. Tanpa peduli kelelahan. Tanpa peduli tubuh yang dulu selalu dirawatnya kini jadi tak indah lagi..

Bukan hanya karena itu…

Seorang Ibu, selalu rela mengorbankan apapun untuk kebaikan anaknya. Di satu tempat, saya melihat seorang ibu rela melepaskan karirnya yang sedang menanjak—eksistensinya—demi menjaga sang anak. Seorang ibu yang lain rela berperan ganda—berlelah-lelah membantu suami mencari nafkah di luar rumah, sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai ibu dan istri--mengurus rumah, mengurus anak, mengurus suami. Seorang ibu yang lainnya lagi memutar otak, agar bisa tetap bekerja—mencari tambahan rejeki untuk keluarga, walaupun dari rumah. Tujuannya sama, agar ia selalu bisa memantau tumbuh kembang sang buah hati. Salah seorang sahabat saya ketika kuliah di Bandung adalah seorang wanita muda yang baru menikah. Suaminya kerja di luar kota Bandung sehingga tidak bisa setiap hari pulang. Ternyata tak lama berselang, sahabat saya tersebut hamil. Saya menjadi saksi ketika setiap hari ia—dengan perutnya yang semakin membesar berjalan ke kampus setelah turun dari angkot, sementara di punggungnya tersandang ransel berisi laptop 14” dan buku-buku kuliah yang tidak bisa dibilang ringan. Ketika ia melahirkan, kami sekelas sedang UAS. Setelah melahirkan, beberapa kali teman saya terpaksa mengajak anaknya yang masih sangat kecil ikut kuliah di kampus, karena pengasuhnya sedang sakit. Tak jarang saya memergoki teman saya tersebut memeras air susu di mushola putri saat shalat Dhuhur. “Untuk persediaan air susu besok”, begitu katanya. Tugas-tugas kuliah kami saat itu tak bisa dibilang sedikit, apalagi saat tiba penyelesaian tesis. Lemburan tiap malam sudah menjadi makanan sehari-hari. Bisa dibayangkan repotnya membagi perhatian antara buah hati yang masih kecil dengan jadwal kuliah dan tugas yang sungguh padat. Namun ternyata teman saya tersebut bisa lulus tepat waktu. Dengan nilai yang sangat baik. Hampir tak pernah saya dengar dia mengeluh.

Hebat.

Sungguh, saya sangat kagum pada perjuangannya. Saya yakin perjuangan teman saya tersebut dalam meraih mimpinya tigakali lebih berat (bahkan lebih) daripada perjuangan saya yang masih single—ataupun teman-teman saya lainnya yang sama-sama kuliah lagi—namun profesinya adalah bapak rumah tangga (suami)—bukan seorang Ibu, atau seorang istri yang selain bertanggungjawab menyelesaikan tugas-tugas kuliah juga masih harus hamil-melahirkan-serta bertanggung jawab merawat anak setiap hari tanpa selalu didampingi suaminya.

Sungguh ironis, di belahan bumi lainnya saya melihat seorang Ibu yang sibuk bekerja diluar rumah disalahkan karena sang anak terjerat pergaulan bebas.

Lagi-lagi ironis. Ibu selalu jadi orang pertama yang ‘disalahkan’ ketika seorang anak terjerat masalah—namun biasanya bukan jadi orang pertama yang diberi selamat ketika sang anak berhasil.

Ibu, ibu, hanya Ibu yang selalu berada dalam dilema antara karir dan rumah tangga. Antara fulltime mom atau working mom. Hanya ibu, selalu ibu, bukan ayah.

Hanya ibu yang walaupun kini ketika saya telah dewasa dan sudah bekerja, tetap khawatir akan keadaan dan kesehatan saya dan selalu berpesan, “Makan bergizi, minum vitamin, jangan lupa makan buah, minum susu”. Atau ketika saya pulang, “Ta, nanti balik ke Surabaya mau dibawakan lauk apa??”

Ibuku, malam ini aku kangen ibu… Aku sayang, sayang, sayang Ibu.

Ya Allah, berikanlah selalu kesehatan, umur panjang, dan kebahagiaan pada Ibu dan Bapakku.

Jadikanlah kami, tita-heppy dan ican sebagai anak-anak mereka yang sholeh, berbakti, juga bisa membahagiakan dan membanggakan mereka..

Amiin…

Nb. Sayapun seorang wanita. Saya berharap kelak bisa menjadi seorang Ibu yang baik. Betapapun sulitnya, saya bangga dipilih Allah menjadi seorang wanita dengan segala tanggung jawab yang harus dipikulnya. Karena dibalik kesuksesan seorang anak selalu ada peran Ibunya. Dibalik kesuksesan seorang suami selalu ada peran istrinya--seorang wanita, yang setitik kebaikannya bisa membuat seluruh dunia tersenyum namun sebaliknya setitik keburukannya juga bisa membuat seisi dunia hancur…

Semoga saya mampu memikul tanggung jawab itu nanti…