Saya rindu RUANG PUBLIK TAK TERSEGMENTASI

0 comments

Membaca sekilas judul artikel di atas tentunya sedikit mengundang pertanyaan. Ruang publik tak tersegmentasi? Bukankah yang namanya ruang publik seharusnya sudah pasti tak tersegmentasi?? Hmmm.. jangan salah, disadari ataupun tidak saat ini semakin banyak ruang publik yang secara langsung ataupun tidak hanya dapat dikunjungi oleh kalangan tertentu (segmented) yang kehadirannya semakin menggeser fungsi ruang publik yang seharusnya unsegmented.

Ketika masih di Bandung, setiap hari Minggu saya selalu menikmati berjalan-jalan pagi di area car free day yang dipusatkan di Jalan Dago. Saya menikmati berjalan santai sambil menikmati aneka aktivitas warga yang tumpah ruah di sana. Ada ayah dan Ibu yang berjalan berdua sambil mendorong kereta bayi, serombongan anak-anak bermain in line skate, pedagang bubur ayam, cilok, batagor, dan lainnya yang berusaha mencari tambahan rejeki, ada sekelompok remaja yang hunting foto, ibu-ibu darmawanita yang senam pagi di halaman factory outlet, anak kecil pengamen yang coba mencari perhatian lewat suara sumbangnya, sejoli pasangan muda yang berjalan berdua bergandengan tangan…dan…masih banyak lagi yang lain. Saya selalu suka pemandangan itu. Saya juga menikmati sesekali mampir dan mencoba jajanan di pinggir jalan sambil bersapa dan mengobrol dengan abang penjualnya yang bahkan saya tidak pernah kenal sebelumnya. Sebuah keindahan sederhana. Bagi saya itulah gambaran sesungguhnya dari sebuah kota yang hidup.

Bandingkan dengan ruang publik lain yang kita kenal, mall. Mall yang saat ini kehadirannya semakin marak memenuhi sudut kota kita. Mall memang menawan karena desainnya yang indah. Mall selalu menarik dikunjungi karena menawarkan segala hiburan yang dapat dikunjugi dalam satu tempat; game center, food court, bioskop, dan masih banyak lainnya. Bagi kaum wanita mall mungkin menarik karena memberikan tawaran untuk window shopping dan memuaskan hasrat belanja. Sedangkan bagi para pria mall mungkin menyenangkan karena hampir setiap hari tempat itu selalu dipenuhi oleh wanita-wanita cantik berbusana indah dan berbau wangi.

Tak dapat disangkal, kehadiran mall kini telah mengambil alih sebagian besar fungsi rekreasi dan hiburan warga kota di Indonesia, yang pada jaman dahulu kala diakomodir oleh sebuah ruang bersama yang kita kenal dengan nama alun-alun. Ya, pada masa tradisional alun-alun merupakan pusat kota-kota di Jawa yang digunakan untuk segala aktivitas rakyat—termasuk juga aktivitas hiburan seperti layar tancap dan pacuan kuda (Kunto, 1986). Lalu kemana sekarang alun-alun? Hilangkah ditelan modernitas?

Bagaimanapun derasnya arus modernitas dengan membawa mall yang sejatinya adalah budaya bangsa barat, keberadaan alun-alun, taman kota, pasar kaget, area car free day, dan sejenisnya tetap dibutuhkan sebagai sarana rekreasi bagi masyarakat yang tak tersegmentasi. Sebagai sarana rekreasi yang dapat dikunjungi dan dinikmati oleh siapa saja, gratis. Tanpa harus merasa kuatir jika tidak memiliki uang. Tanpa harus malu jika tidak memakai baju bagus. Ruang-ruang terbuka publik tersebut hadir sebagai sarana aktivitas dan kreativitas masyarakat, sekaligus sebagai sarana bagi warga untuk mengenali kotanya.

Surabaya merupakan sebuah kota yang saya tahu telah memberi perhatian lebih pada taman kotanya.Taman-taman kota di Surabaya dijaga menghijau, senantiasa bersih, dan dilengkapi dengan sejumlah permainan anak. Bahkan beberapa diantaranya didesain ulang dengan menambahkan elemen-elemen arsitektural yang menarik. Sungguh sebuah usaha yang menyejukkan hati. Sayang sekali keadaan tersebut belum terjadi di semua kota di Indonesia.

Bandung salah satu kota yang menurut saya kurang memperdulikan keberadaan aset-aset besar yang sesungguhnya dimiliki. Ruang hijau dan taman-taman kota peninggalan jaman Belanda. Taman-taman kota nan indah yang dulu mengantarkan Bandung pada julukan ‘parisj van java’. Sebuah julukan yang kini lenyap tak berbekas. Sungguh sayang.

Sebagian besar taman kota di Bandung kini kurang terawat. Kotor. Sungguh tak nyaman dipandang, apalagi dijadikan sarana rekreasi. Salah satu yang paling saya kenal adalah Taman Ganesha di depan ITB yang dahulu dikenal dengan Ijzerman Park. Sedih rasanya melihat keadaannya kini yang kotor penuh sampah dengan genangan kolam air mancurnya yang berwarna coklat. Sungguh kontras dengan gambar-gambar di buku sejarah yang melukiskan begitu indahnya taman ini dulu, salah satu primadona di kota Bandung.

Taman kota kini tak nyaman lagi, satu alternatif sarana rekreasi hilang sudah. Akibatnya sudah jelas, semakin masyarakat memenuhi mall. Taman kini tinggallah jadi milik para pengemis, dan tuna wisma, bahkan tak menutup kemungkinan akhirnya mengundang kriminalitas. Sungguh gambaran segmentasi ruang publik yang menyedihkan.

Sayang. Padahal dari ramainya car free day setiap minggu kita bisa tahu bahwa masyarakat membutuhkan ruang publik. Ruang publik sesungguhnya yang tak tersegmentasi. Ruang publik dimana setiap orang bisa berbaur dan bebas menjadi dirinya sendiri tanpa dibayangi kungkungan konsumerisme.

Indahnya apabila setiap pemangku kebijakan kota menyadari hal itu..