Ketika kendaraan bermotor lebih dihargai daripada pejalan kaki…

Hampir dua tahun tinggal di kota Bandung membuat saya semakin menyadari satu hal, kota ini jauh lebih menghargai mobil pribadi dan kendaraan bermotor lain ketimbang pejalan kaki. Pendapat tersebut memang tanpa dasar teori yang dapat dipertanggungjawabkan, namun pengalaman pribadi sebagai pejalan kaki yang selalu termarjinalkan oleh keberadaan kendaraan bermotor membuat saya berani menyatakannya.

Basis perangcangan infrastruktur jalan di kota Bandung yang berorientasi kepada penggunaan kendaraan bermotor mau tak mau berimbas pada gaya hidup masyarakatnya yang semakin tergantung pada kendaraan bermotor untuk menempuh jarak-jarak jauh maupun dekat di kota. Akibat langsung dari gaya hidup ini tentu saja, peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi yang memenuhi ruas-ruas jalan di kota Bandung, kemacetan, dan kesulitan mencari lahan parkir terutama pada daerah-daerah yang merupakan pusat aktivitas masyarakat, serta tak ketinggalan peningkatan emisi karbon penyumbang global warming.

Pemandangan pagi hari berupa jajaran mobil aneka warna dan merk yang diparkir disepanjang ruas jalan Ganesha, dimana terdapat salah satu kampus ternama di kota Bandung, bukanlah suatu hal yang asing lagi. Beranjak siang, deretan mobil yang parkir telah semakin meluas, ‘menjajah’ ruas-ruas jalan lain disekitarnya. Luas lahan ITB yang kecil, tak memungkinkan kampus ini menyediakan lahan parkir yang memadai untuk memfasilitasi ’gaya hidup’ mahasiswanya. Akibatnya seperti digambarkan pada situasi diatas, kebutuhan lahan untuk parkir dilampiaskan ke jalan sekitarnya, memakai badan jalan, mengganggu kelancaran arus transportasi pada jalan yang bersangkutan, serta semakin tak memberikan ruang yang nyaman bagi pejalan kaki. Dari kenyataan sehari-hari tersebut, sepertinya tak berlebihan bila dikatakan bahwa gaya hidup mahasiswa ITB adalah sebagian dari penyumbang kemacetan kota Bandung serta emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global. Cukup menyedihkan, mengingat kapasitas ITB sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terbesar dan terbaik di Indonesia. Kampus ini setiap tahunnya menelorkan lulusan-lulusan terbaiknya dibidang sains dan teknologi, yang sayangnya ternyata tak selalu dibarengi dengan kesadaran mereka akan lingkungan.

Fakta lain tentang ‘tak dianggapnya’ pejalan kaki dikota ini terlihat dari desain pedestriannya yang dapat dikatakan tak layak. Pada sebagian besar ruas jalan misalnya Jalan Cihampelas ,keberadaan pedestrian telah terdesak oleh fungsi-fungsi bangunan komersial. Pada ruas jalan yang selalu ramai ini, aturan sempadanpun tampaknya sudah tak lagi diperdulikan. Akhirnya yang terjadi adalah bangunan yang langsung berhadapan dengan badan jalan yang ramai sehingga sama sekali tak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Kalaupunlah ada sedikit ruang, pasti sudah dimanfaatkan sebagai lahan parkir maupun tempat mangkal pedagang kaki lima.

Beberapa ruas jalan di Bandung seperti Jl Tamansari memang menyediakan pedestrian, namun seperti dikatakan sebelumnya kondisinya sangat menyedihkan. Berlubang disana-sini serta dihalangi oleh akar pohon peneduh-yang seyogyanya mendapatkan tempat tumbuhnya tersendiri. Beranjak sore, fasilitas pedestrian yang seadanya inipun seolah harus diperebutkan dari pedagang kaki lima yang telah mengklaim ruang publik ini sebagai area pribadinya untuk berjualan. Dan tentunya, lagi-lagi pejalan kaki yang menjadi korban.

Cerita-cerita diatas hanya sekelumit dari yang saya alami sebagai pejalan kaki yang termarjinalkan di kota ini. Sungguh sayang kondisi tersebut, mengingat cara terbaik untuk menikmati sebuah kota adalah dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, setiap sudut kota ,tiap sekuen dari ruas jalan—karya arsitek dan perancang kota akan dapat dinikmati dengan lebih baik. Pejalan kakilah yang menikmati kota, bukan pengendara mobil yang melaju terlalu cepat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin semakin banyak orang akan enggan berjalan kaki. Dampaknya, selain lagi-lagi emisi dan kemacetan, tentu tak akan ada lagi yang menikmati kota. Lalu jika tanpa penikmat, untuk apa arsitek dan perancang kota mendesain visualisasi kota? Sekedar uang, kepuasan dan ego pribadikah?? Sungguh sayang..

0 comments:

Posting Komentar